21 Maret 2016

Gereja yang Berempati

OLEH FRANS OBON

Awal Januari 2016, Gereja Katolik Keuskupan Ruteng menggelar pertemuan pastoral yang melibatkan para pastor paroki, pemimpin lembaga dan pemimpin tarekat serta tokoh-tokoh awam untuk merumuskan bersama implementasi hasil Sinode III Keuskupan Ruteng yang telah berlangsung secara bertahap mulai 2013 hingga 2015. Dari berbagai proses dalam Sinode III Keuskupan Ruteng dan kira-kira setelah 100 tahun usia Gereja Katolik Manggarai, Gereja Katolik Keuskupan Ruteng merumuskan identitas dirinya sebagai “Persekutuan umat Allah yang beriman Solid, Mandiri dan Solider.

Tahun 2016 adalah tahun pertama implementasi Sinode III dengan fokus pada tema liturgi yakni “Liturgi adalah sumber kerahiman ilahi dan puncak kehidupan umat beriman.” Tema ini sudah diuraikan dalam Surat Gembala Advent dan Natal Uskup Ruteng Mgr Hubert Leteng. 

“Iman  yang solid, mandiri, dan solider ini ingin kita wujudkan melalui aneka gerakan dan program pastoral  dalam lingkaran 10 tahun. Dalam tahun pertama 2016, kita memusatkan diri pada liturgi. Sebab liturgi menurut Konsili Vatikan II merupakan sumber sekaligus puncak kehidupan Gereja. Seluruh karya pastoral Gereja terarah kepada persatuan mesra Allah dengan umat-Nya. Di lain pihak perjumpaan dengan Allah dalam liturgi menjadi sumber kekuatan hidup umat Allah sehingga “sehati-sejiwa dalam kasih” dan dapat mengamalkan kasih Allah dalam hidup sehari-hari,” kata Uskup Hubert.

Tema liturgi ini digabungkan dengan perayaan Tahun Yubileum Agung Kerahiman Ilahi yang diumumkan Paus Fransiskus bagi Gereja Katolik universal dari tanggal 8 Desember 2015 hingga 20 November 2016. Pada tahun pertama (2016) implementasi hasil Sinode III Keuskupan Ruteng dalam bidang liturgi dihubungkan dan dikaitkan dengan dua hal mendasar yakni perwujudan nyata iman akan Allah yang berbelas kasih dan murah hati serta penuh kerahiman dan liturgi yang berimplikasi sosial bahwa ekaristi bukan hanya sekadar perjumpaan dengan Allah, tetapi bagaimana perjumpaan dengan Allah itu menjadi sumber kekuatan untuk mentransformasi kehidupan nyata sehari-hari. Ite missa est yakni misa telah selesai, kita diutus adalah sebuah “perintah, perutusan untuk terlibat aktif dalam menciptakan dunia dan bumi yang baru”, perutusan untuk ikut ambil bagian dalam pembaruan kehidupan sosial.

Dua Persoalan 

Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Ruteng Romo Martin Chen Pr dalam input teologis pada pertemuan pastoral post Natal awal Januari 2016 mengedepankan dua masalah mendasar terkait liturgi Gereja selama ini. 

Pertama, sakramen sentris dan liturgi sentris yang berdampak pada pelayanan gereja hanya bersifat ad intra bahwa pelayanan sakramen dan ibadat pada hakikatnya hanya melayani umat sendiri tanpa berdampak pada pembaruan kehidupan sosial. Menurut Romo Martin, Gereja harus keluar dari “rutinitas monoton” liturgi sentris dan sakramen sentris.

“Liturgi saja tidaklah cukup. Doa saja tidaklah menyelesaikan masalah dalam kehidupan. Hanya dengan misa saja kita tidak dapat membangun Kerajaan Allah di dunia ini. Kita mesti mengembangkan pelayanan pastoral yangf integral, yang meliputi pelbagai bidang kehidupan Gereja termasuk pewartaan dan pelayanan sosial serta program pastoral yang meneguhkan persekutuan hidup Gereja,” kata Romo Martin.

Kedua, iman yang alienatif, iman yang terasing dari kehidupan nyata. Terjadi dikotomi antara iman yang dirayakan dalam liturgi dan iman yang diwujudnyatakan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak umat begitu rajin dan saleh dalam beribadat dan berdoa, tetapi menjadi orang yang sama sekali berbeda  dan menabrak berbagai nilai kristiani dan etika hidup bersama.

Untuk menjelaskan hubungan ekaristi dan kehidupan sehari-sehari, maka dicarilah pendasaran teologis. Input teologis ini penting untuk membantu merumuskan reksa pastoral yang holistik dan integral di mana liturgi sebagai perjumpaan dengan Allah memiliki relevansi dan berimplikasi sosial.

Seperti dikatakan Romo Martin Chen, liturgi yang kita rayakan sungguh-sungguh berkaitan erat dengan kehidupan konkret setiap hari. Dengan demikian liturgi pada hakikatnya selalu berdampak sosial.  Bahkan liturgi dan kegiatan sosial merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.

 “Liturgi sebagai fokus program pastoral Sinode III tahun pertama tidaklah kita mengerti sebagai seremoni, tetapi sebuah peristiwa perjumpaan dengan Allah yang penuh belas kasih, yang menjadi dasar dan sumber kekuatan dalam menyalurkan kerahiman ilahi kepada dunia. Di pihak lain, semua kegiatan pastoral Gereja untuk menggarami dunia dengan nilai keadilan, kebenaran, kejujuran dan perdamaian terarah kepada persatuan dengan Allah, kepada liturgi sebagai mahkota dan puncaknya,” kata Romo Martin.

Hubungan antara ekaristi dan kehidupan sehari-hari dijelaskan dengan baik dalam input teologis Romo Emanuel Martasudjita, Ketua Fakultas Teologi Kepausan Wedabhakti dan Dekan Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

“Seluruh sejarah umat manusia menjadi sejarah keselamatan Allah justru karena sejarah manusia ini menjadi medan pemberian diri Allah. Dalam pengertian inilah, paham dualisme mengenai pemisahan antara hidup dengan Allah dan hidup sehari-hari ditolak. Kehidupan sehari-hari selalu ditopang dan dimungkinkan oleh pemberian diri Allah atau pemberian diri Allah itu menjadi kehidupan sehari-hari kita,” kata Romo Marto.

Oleh karena itu rancangan reksa pastoral ke depan, menurut Romo Marto, adalah kegiatan pastoral yang integral, yang bukan hanya memberikan pencerahan kepada umat tentang makna terdalam liturgi sebagai perayaan misteri Paska, tetapi juga kehidupan spiritualitas kristiani yang mencakup bidang-bidang kegiatan Gereja  dan tetap berkontak atau dialog dengan budaya lokal.

Romo Marto menggunakan perumpamaan tentang pokok anggur untuk menggambarkan relevansi liturgi ekaristi dengan kehidupan sehari-hari. 

“Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku. Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:4-5). 

Oleh karena itu, menurut Romo Marto, setiap kegiatan kita termasuk karya kerasulan dan pelayanan sosial hanyalah buah dari kesatuan kita dengan Tuhan.
Dengan memahami makna sejati liturgi, menurut Romo Martin Chen, diharapkan persoalan dasar yang ditemukan dalam Sinode III Keuskupan Ruteng tentang praktik iman yang alienatif dan dikotomis dalam kehidupan Gereja partikular Keuskupan Ruteng perlahan-lahan dapat diubah dan diperbarui.

Kerahiman Ilahi 

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, liturgi sebagai puncak kehidupan umat beriman, juga merupakan sumber kerahiman ilahi. Tema kerahiman ilahi ini sudah disinggung dan disebutkan dalam Surat Gembala Advent dan Natal 2015 Uskup Ruteng Mgr Hubert Leteng.

“Liturgi bukanlah ritual atau upacara belaka, tetapi sebuah peristiwa perjumpaan dengan Allah yang penuh belas kasih. Pengalaman akan cinta Allah inilah yang menjadi dasar dan sumber kekuatan umat beriman dalam menyalurkan kerahiman ilahi kepada dunia. Di lain pihak persatuan dengan Allah yang dirayakan dalam liturgi merupakan mahkota dan puncak dari seluruh kehidupan umat beriman dalam pergulatan hidup sehari-hari untuk membangun masyarakat dan dunia yang lebih adil, solider dan damai,” kata Uskup.

Uskup Hubert mengatakan, begitu banyak kisah dalam Injil mengenai belas kasih ilahi yang menjiwai seluruh hidup dan pelayanan Yesus. Yesus menaruh belas kasihan kepada orang yang letih, terlantar dan sesat (Mat. 9:36), menyembuhkan orang sakit (Mat 14;14), memberi makan orang banyak yang kelaparan (Mat. 15:37), membangkitkan putra tunggal seorang janda dari Nain (Luk 7:15), perumpamaan domba yang hilang, anak yang hilang, dan dirham yang hilang. Kisah-kisah ini “mengungkapkan kerahiman Allah yang melampaui dosa manusia sekaligus menampilkan wajah Allah yang penuh sukacita ketika Dia memberikan pengampunan”.

Dalam rekoleksi pembukaan pertemuan pastoral, Romo Emanuel Martasudjita membahas mengenai Allah yang maharahim, Allah yang berbelas kasih dan implikasinya pada reksa pastoral Gereja. Baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, Allah digambarkan sebagai Allah yang rahim, murah hati, penuh kasih sayang, penuh belas kasih dan setia. Kata hesed dalam Kitab Suci menunjukkan bahwa Allah itu setia, belas kasih, bermurah hati. Cerita dalam teks Lukas 15 menggambarkan Allah yang penuh belas kasih, penuh kerahiman dan bermurah hati.

Implikasi dari iman akan Allah yang penuh kasih dan bermurah hati adalah reksa pastoral yang melampaui hukum dan aturan yang barangkali tidak membebaskan orang. “Kita perlu bertanya, apakah segala peraturan dan kesepakatan-kesepakatan di lingkup pastoral keuskupan dan paroki-paroki kita memang membantu orang-orang untuk lebih memperoleh keselamatan hidup atau justru membelenggu dan merintangi mereka?” kata Romo Marto.

Gereja yang berempati

Gereja Katolik Keuskupan Ruteng sebagaimana dirumuskan  Sinode III Keuskupan Ruteng dalam arah (visi) dasarnya adalah “Persekutuan umat Allah”. Rumusan ini menunjukkan bahwa Gereja Keuskupan Ruteng adalah seluruh umat Katolik baik tertahbis maupun terbaptis. 

“Kita menyadari bahwa dengan sakramen baptis, kita semua mengambil bagian dalam tritugas Kristus: imam, nabi, dan raja dan lima tugas Gereja: liturgi, persekutuan (koinonia, communio), pewartaan (kerygma) dan kesaksian (martyria). Semua tugas ini harus mendapat perhatian secara bersama, seimbang dan harmonis. Inilah pastoral integral dan holistik,” bunyi pernyataan akhir pertemuan pastoral post Natal Keuskupan Ruteng.

Iman akan Allah yang maharahim dan penuh belas kasih itu tentu saja mewajibkan umat Katolik Keuskupan Ruteng untuk menyalurkan kerahiman Allah itu. “Kerahiman harusnya juga menjadi roh dan gerakan bersama dalam mengimplementasikan hasil Sinode III Keuskupan Ruteng dalam sepuluh tahun ke depan, khususnya pada tahun 2016 ini sebagai tahun pertama yang dicanangkan sebagai tahun liturgi. Di sini kerahiman ilahi harus menjiwai semua pelayan pastoral dan reksa/program pastoral dalam tahun liturgi ini,” bunyi pernyataan akhir pertemuan pastoral Keuskupan Ruteng.

Kepada siapa kerahiman Allah ini disalurkan oleh Gereja Katolik Keuskupan Ruteng sebagai “persekutuan umat Allah yang beriman solid, mandiri, dan solider?”

“Pesan gembira Injil tentang kerahiman ilahi ini perlu kita kumandangkan dewasa ini terlebih-lebih dalam kerapuhan hidup kita manusia yang penuh dosa, dan dalam situasi dunia yang masih dilanda oleh racun kebencian, kekejaman, dan kekerasan,” kata Uskup Hubert dalam Surat Gembala Advent dan Natal 2015.

Kerahiman Ilahi ini, kata Uskup Hubert, adalah anugerah Allah yang diberikan dengan cuma-cuma. “Oleh sebab itu apa yang kita terima secara gratis, hendaknya dapat pula kita bagi-bagikan dengan murah hati kepada sesama khususnya yang sakit, menderita dan berkekurangan. Kita juga diajak dalam tahun Yubileum ini untuk melakukan kegiatan-kegiatan belas kasih seperti mengunjungi orang sakit, membantu yang miskin dan menderita, membela korban ketidakadilan, dan memperjuangkan kelestarian alam dan keutuhan ciptaan,” kata Uskup Hubert.

Pilihan kita untuk mewujudkan iman akan Allah yang murah hati dan berbelas kasih ini adalah dengan mengutamakan orang-orang miskin. “Memihak orang miskin merupakan suatu kewajaran dari seluruh hidup dan misi Gereja yang berbelas kasih dan bermurah hati,” kata Romo Marto.

Adalah pilihan tepat jika Keuskupan Ruteng memilih tema liturgi sebagai tahun pertama implementasi hasil Sinode III. Masalah kita memang terletak di sini bahwa perayaan liturgis kita meriah, tetapi belum maksimal berdampak pada pembaruan ruang publik kita, belum mampu mengubah dan membarui kultur politik kita dan belum mampu mendorong aktivitas ekonomi yang berkeadilan, dan belum sepenuhnya menjiwai politik pemerintahan kita.

Tema liturgi dan kerahiman ilahi ini mudah-mudahan bisa menggugah dan mendorong “persekutan umat Allah” yang dinamakan Gereja Katolik Keuskupan Ruteng, menjadi Gereja Katolik yang berempati dengan situasi manusia zaman ini. Persekutuan umat Allah yang tanggap dengan masalah sosial di sekitarnya, persekutuan umat Allah yang “menangis dengan orang yang menangis dan tertawa dengan orang yang tertawa”.  Gereja Katolik yang solider dengan umatnya, pemerintah yang solider dengan rakyatnya, dan ruang publik yang mencintai kehidupan, mencintai budaya damai dan berkeadilan. Pendek kata, implementasi tahun pertama Sinode III Keuskupan Ruteng menghasilkan Gereja yang berempati.*

Tidak ada komentar: