18 Mei 2011

Orang Dalam dan Orang Luar


Oleh FRANS OBON

SENTIMEN etnik sering muncul pada saat tertentu di Flores. Orang luar dan orang dalam. Pendatang dan orang asli. Kategori ini selalu dimunculkan dalam konteks perebutan sumber daya di daerah-daerah. Kali ini sentimen lama ini datang lagi dalam soal penerimaan pegawai negeri sipil daerah. Tapi dengan wajah lain.

Setelah bicara mengenai komitmen, tanggung jawab, dan integritas di dalam bekerja, Bupati Ngada Marianus Sae dalam acara penyerahan Surat Keputusan (SK) pengangkatan calon pegawai negeri sipil daerah di Bajawa, Selasa (9/5/2011) juga bicara soal kemungkinan “orang luar” yang lolos seleksi pegawai negeri di Kabupaten Ngada menjadikannya sebagai batu loncatan agar pada satu waktu nanti mereka akan minta pindah ke daerah asalnya (Flores Pos edisi 11 Mei 2011).


“Saya wajibkan untuk membuat surat pernyataan agar mengabdi di Kabupaten Ngada minimal lima tahun. Ke depan salah satu syarat tes masuk CPNS adalah wajib membuat surat pernyataan untuk mengabdi di Ngada minimal sepuluh tahun jika dinyatakan lulus,” kata Bupati.

Syarat ini hanya untuk orang luar. Sedangkan “orang asli” tidak ada persyaratan. Bahkan diasumsikan bahwa “orang asli” itu tidak mungkin minta pindah ke daerah lain.

Ada apa dengan persyaratan ini? Nuansa apa di baliknya. Kalau persyaratan ini diberlakukan maka sejak awal sudah dibedakan mana “orang dalam” dan mana “orang luar”. Dengan itu “orang luar” harus tahu diri. Jelas ini pelabelan dan bentuk diskriminasi. Saya kira memang maksud baik di balik persyaratan ini, namun persyaratan yang sama tidak bisa menyembunyikan nuansa etnis di dalamnya.

Apakah semangat ini berlaku juga di dalam pengangkatan pejabat-pejabat penting di pemerintahan? Di masa-masa awal reformasi politik di Indonesia, kita bisa katakan ya. Karena alasan itulah maka ramai-ramai orang minta pindah kembali ke daerah asalnya. Padahal sebelum reformasi, fenomena ini hampir tidak tampak. Bahwa ada satu dua kasus orang minta pindah ke daerah asalnya, tapi alasannya bukan karena perasaan penolakan terhadap orang luar dalam penempatan pejabat penting di pemerintahan.

Semangat “orang dalam” dan “orang luar” ini mengental sejak pemberlakuan otonomi daerah. Dari ujung barat hingga ujung timur Flores. Meski fenomena serupa terjadi di seluruh Indonesia. Reformasi politik karenanya seringkali dilihat sebagai pendefinisian kembali Indonesia sebagai bangsa. Yang ditonjol-tonjolkan adalah identitas komunal atas nama etnis dan agama.

Inilah alasannya mengapa banyak pegawai negeri sipil yang berdasarkan eselon dan golongan sudah memenuhi syarat untuk menempati jabatan tertentu tapi tidak diberi kesempatan hanya karena “orang luar”. Migrasi pegawai negeri ke kabupaten asalnya dan terutama ke kabupaten pemekaran baru meningkat karena semangat memburu jabatan struktural di dalam kalangan pegawai negeri sipil.

Tapi apakah persyaratan ini juga bisa diterapkan dalam pengerjaan proyek pemerintah? “Kontraktor luar” dan “kontraktor dalam”? Kadang-kadang suara semacam itu memang ada sebagai jalan lapang untuk mendapatkan proyek pemerintah, tetapi suara-suara itu tidak bisa kencang karena ini menyangkut kebijakan bupati. Tapi barangkali juga tidak bisa dibuat karena uang tidak mengenal batas daerah dan etnik.

Seleksi calon pegawai negeri sipil tahun 2010 memang sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Pemeriksaan dan perangkingan kelulusan dilakukan oleh lembaga independen, sehingga banyak orang “dari luar kabupaten” pergi testing di kabupaten lain. Apalagi lowongan yang tersedia diumumkan oleh pemerintah daerah melalui media massa, sehingga para pencari kerja tahu lowongan yang tersedia di setiap kabupaten. Pencari kerja mengikuti testing di daerah yang paling banyak membutuhkan tenaga tertentu.

Kebijakan ini membawa keuntungan. Banyak orang dari “luar kabupaten” lolos seleksi karena sedikit murni berdasarkan hasil testing. Hal ini yang menyebabkan sentimen etnik di daerah-daerah muncul kembali. “Orang dalam” merasa kesempatan mereka “dirampas” oleh “orang luar”.

Bisa dimengerti karena dalam kampanye untuk memobilisasi dukungan rakyat terhadap pemekaran, salah satu janjinya adalah bahwa kabupaten baru itu akan menampung banyak “anak-anak kita” menjadi pegawai negeri sipil. Karena daerah pemekaran baru itu memerlukan banyak pegawai. Karena itu orang yang bersuara lain, berpendapat lain serta memberikan pemikiran alternatif soal pemekaran dianggap tidak mendukung pemekaran. Lalu cap itu dipakai terus untuk menjegal orang-orang tersebut dalam pemilukada. Klaim paling berjasa mulai muncul. Pemekaran menjadi ajang penciptaan pahlawan baru di daerah-daerah pemekaran.

Namun ketika pemerintah pusat mengubah cara seleksi pegawai negeri sipil dan pemeriksaan dilakukan oleh lembaga independen, janji ini seperti senjata makan tuan. Muncul riak-riak di lapisan masyarakat bahwa seolah-seolah pemekaran itu telah “dicuri” oleh orang-orang dari luar kabupaten baru itu.

Di negara dengan multi etnik dalam merebut sumber daya dan lapangan kerja, banyak digunakan isu etnik dan agama untuk mendapatkan kesempatan. Kita seringkali bicara dengan standar ganda. Kita bilang menjadi pegawai negeri sipil itu terbuka untuk semua orang tanpa memandang agama, etnis, dan jenis kelamin. Sebagai implementasi keindonesiaan, pegawai negeri itu ditempatkan di mana saja dan selalu menyatakan bersedia ditempatkan di mana saja di Indonesia. Namun, kita sering pula menggunakan standar ganda. Kita menyerang yang lain dengan isu etnis, tapi di sisi lain kita melakukan hal yang sama. Etnis dan agama adalah bola liar yang bisa digunakan oleh siapa saja menurut kepentingannya. Akar di massa rumput yang pendek ingatannya, mudah lupa akan pengalaman pahit di sama lalu, dan kurang pendidikannya mudah dimobilisasi untuk kepentingan tersembunyi dari elite politik mereka.

Cara pikir begini tampaknya sudah menjadi bagian dari hidup kita. Di lembaga agama, di pemerintahan, di lembaga sosial, di setiap sudut dari relung pikiran dan realitas sosial kita, kita terperangkap dalam kebangsaan suku dan agama. Kalau begitu keindonesiaan menjadi sesuatu yang nisbi.Oh keindonesiaan. Oh Flores!

- Oleh Frans Obon

Flores Pos, edisi 16 Mei 2011

Tidak ada komentar: