27 Agustus 2010

Membangun Kepekaan dan Kepedulian

Oleh FRANS OBON |PERSOALAN tambang yang telah lama menjadi pergulatan pemikiran dan menguras tenaga dan perhatian Gereja Katolik di Flores tampaknya telah membawa kita semua untuk membicarakan lagi tentang kepekaan dan kepedulian sosial.

Kotbah Uskup Ruteng Mgr Hubert Leteng di Kapela Torong Besi pada perayaan ekaristi bertema ekologi mengingatkan kita kembali bahwa kebersamaan sosial kita perlu dibicarakan lebih serius lagi agar tidak tergerus oleh kepentingan sesaat terutama oleh kepentingan ekonomi.

Uskup mengatakan dalam kotbahnya, “Tanah ini dan lingkungan alam ini bukan hanya untuk sejumlah orang yang punya uang seperti pemilik atau penguasa tambang dan semua yang mendapatkan uang dari usaha atau izin tambang. Tanah ini dan lingkungan alam ini ada untuk hidup banyak orang dan untuk hidup banyak makhluk ciptaan lain”.


Kesulitan kita selama ini dalam menghadapi berbagai masalah besar di Flores adalah bahwa kita tidak pernah merasa punya tanggung jawab sosial untuk kehidupan orang lain. Kita seakan tidak peduli dengan keprihatinan yang menimpa sekelompok orang.

Di Manggarai misalnya, orang-orang yang berada di sekitar hutan hampir tidak pernah peduli dengan dampak kerusakan ekologis bagi orang lain dari tindakan membabat hutan. Dia hanya memikirkan kepentingan ekonomis diri dan kelompoknya. Keterimpitan dan keterdesakan ekonomi telah menumpulkan kepekaan sosial kita.

Dampak tidak langsung dari sikap ini adalah adanya fenomena pengklaiman hutan sebagai lingko dan penyerobotan lahan orang lain dengan alasan kekuasaan masa lalu dan tidak adanya bukti surat penyerahan. Di dalam kekalutan demikian, ketika tambang menerpa masyarakat kita, ada sebagian orang bertindak tidak memikirkan dampak bagi orang lain.

Uskup menyebutkan salah satu contoh yang kiranya perlu diperhitungkan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat pada umumnya di Manggarai.

Uskup mengatakan, “Bila tanah ini, alam ini dan lingkungan hidup ini rusak, hilang dan tenggelam oleh karena tambang, ke mana umat dan masyarakat sekalian lari untuk tinggal, untuk hidup dan berkembang? Apa kamu bisa tinggal di langit dan mendapat makanan dari langit? Apa kamu bisa merebut dan merampas tanah-tanah baru di wilayah-wilayah lain? Karena itu sembuhkanlah dan obatilah tanah, alam dan lingkungan yang sudah rusak ini!”

Kekhawatiran terbesar dengan melihat apa yang telah terjadi dengan pertambangan di Soga, adalah masyarakat sudah kehilangan lahan. Daerah bekas tambang itu hampir pasti tidak bisa digunakan. Karena itu kekhawatiran uskup kiranya beralasan. “Apakah kamu bisa merebut dan merampas tanah-tanah baru di wilayah-wilayah lain?”

"Konflik perebutan lahan sudah banyak menelan korban. Hampir semua masalah konflik lahan pertanian tidak terselesaikan dengan baik".



Kita tentu tidak ingin menambah lebih berat lagi masalah konflik pertanahan di Manggarai. Beban pertanian terlalu berat. Konflik perebutan lahan sudah banyak menelan korban. Hampir semua masalah konflik lahan pertanian tidak terselesaikan dengan baik.

Uskup ingin menegaskan bahwa kehilangan lahan pertanian hanya karena kepentingan uang yang akan habis dalam sekejab terlalu riskan untuk dipertaruhkan dalam masalah pertambangan di Manggarai. Orang Manggarai perlu membuka matanya untuk melihat lebih jauh ke depan, untuk memikirkan risiko dan dampak yang ditimbulkan baik bagi generasi sekarang maupun generasi akan datang.

Pemerintah dan masyarakat hendaknya mengasah lagi kepekaan dan kepedulian sosial mereka. Semua keputusan yang diambil perlu mempertenggangkan kehidupan dan kebaikan bersama sebagai sebuah komunitas.

Bentara, edisi 26 Juli 2010

Tidak ada komentar: