11 Januari 2010

Damai dengan Alam

Oleh Frans Obon

MEMBUKA tahun 2010 Paus Benediktus XVI memberi pesan damai kepada semua orang yang mengarahkan pandangannya pada kehidupan yang lebih baik. “If you want to cultivate peace, protect creation” (jika Anda inginkan perdamaian, lindungi alam).“ Paus Benediktus mengulas hubungan segitiga antara Allah, manusia, dan alam ciptaan. Bahwa terdapat relasi yang tak terelakkan dan tak terpisahkan antara Allah, manusia, dan alam ciptaan. Refleksi teologis mengenai perintah Kitab Kejadian “kuasailah alam ciptaan” (Kej. 1:28) tidak dimaksudkan dalam konteks dominasi eksploitatif, melainkan pengelolaan dalam konteks tanggung jawab.

Tema ini pernah dibahas dalam pesan perdamaian Paus Johanes Paulus II tahun 1990. “Peace with God the creator, Peace with All of Creation”. Paus Johanes Paulus II mengatakan, “Dewasa ini sedang bertumbuh suatu kesadaran bahwa perdamaian dunia terancam....juga oleh tidak adanya penghormatan terhadap alam ciptaan”. Jauh sebelumnya pada tahun 1971 Paus Paulus VI juga dalam rangka ulang tahun ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII menghubungkan pemeliharaan lingkungan dengan konsep pembangunan integral manusia. Tema ini kemudian secara konsisten diajarkan kepada kaum beriman oleh wewenang mengajar Magisterium Gereja.

Ada dua masalah mendasar yang menurut pandangan paus menjadi sebab utama dari krisis ekologis itu. Pertama, motivasi ekonomi yang menyebabkan baik individu maupun pada level negara dan komunitas internasional mengeksploitasi sumber daya alam. Eksploitasi yang tidak dilandasi oleh dimensi etis lingkungan hidup menyebabkan adanya ketimpangan dan ketidakadilan dalam pembagian sumber daya ekonomi di mana dalam pertarungan ekonomis negara-negara miskin harus menanggung penderitaan. Ada banyak kelompok masyarakat yang harus mengungsi ke tempat lain atau tercabut dari tanah mereka sebagai dampak dari krisis lingkungan hidup.

Kedua, gaya hidup ikut mempengaruhi motivasi mengeksploitasi alam. Mentalitas konsumtif ikut mempengaruhi sikap dan mentalitas dalam penggunaan sumber daya alam yang tak terbarui.

Dua masalah ini hanya sebagian dari masalah yang disampaikan Paus dalam pesan perdamaian tersebut.

Bagaimana mengatasi masalah tersebut, saya hanya mengambil beberapa poin penting, yang dalam pandangan saya cocok dengan konteks kita.

Pertama, diperlukan solidaritas baru (new solidarity). Secara teologis ada desakan bagi manusia untuk membangun hubungan harmonisasi dengan alam. Harmonisasi itu dirusakkan oleh dosa di mana “Adam dan Hawa (pria dan wanita) ingin mengambil tempat Allah dan menolak mengakui bahwa mereka adalah ciptaanNya”. Konsekuensinya adalah terputusnya hubungan dan munculnya konflik antarciptaan (Kejadian 3:17-19).

Paus Benediktus menegaskan lagi konsep bahwa lingkungan hidup harus dilihat sebagai pemberian Allah kepada semua orang dan karenanya menuntut kita membagi tanggung jawab kemanusiaan dalam pemanfaatannya. Tetapi para paus menyadari bahwa degradasi lingkungan hidup telah terjadi di mana-mana. Seperti yang dikatakan oleh Paus Johanes Paulus II telah “terjadi krisis ekologis” dan perlunya melihat semua ini dalam karakter etis yakni “sebuah tuntutan etis untuk membangun sebuah solidaritas baru” (new solidarity).

Menurut Paus Benediktus tuntutan etis ini terasa mendesak ketika umat manusia menghadapi suatu realitas terkini seperti perubahan iklim, desertifikasi, deteriosasi dan kehilangan produktivitas pertanian, pencemaran sungai, hancurnya biodiversitas dan deforestrasi hutan-hutan tropis.

Krisis lingkungan ini dalam pandangan paus tidak bisa dipisahkan dari konsep pembangunan itu sendiri dan pemahaman manusia tentang relasinya dengan alam ciptaan. Saat ini dibutuhkan pembaruan kultural yang lebih mendalam dan menemukan nilai-nilai yang mendalam sebagai landasan kokoh bagi pembangunan masa depan yang lebih cerah bagi semua orang. Krisis dewasa ini sebenarnya juga adalah krisis moral dan kita perlu memikirkan kembali jalan atau lorong di mana kita bisa berjalan bersama.

Kedua, keadilan antargenerasi. Solidaritas baru ini dibangun dalam konteks individu, negara dan antarbangsa. Solidaritas baru itu dibangun di atas dasar keaadilan antargenerasi. “Kita mewarisinya dari generasi pendahulu dan kita telah mendapatkan manfaat darinya oleh kerja kita dan untuk alasan ini kita memiliki kewajiban untuk semua orang dan kita tidak bisa menolak bagi kepentingan mereka yang akan datang sesudah kita”. Solidaritas universal akan memberikan manfaat sekaligus menjadi kewajiban. “Ini adalah tanggung jawab generasi sekarang untuk generasi masa depan”.
Solidaritas antargenerasi ini merupakan juga sebuah tuntutan moral bagi negara-negara berkembang dan negara-negara industri. Dengan ini paus menempatkan masalah lingkungan hidup sebagai masalah moral lingkungan. Karena “Tiap keputusan ekonomi mempunyai konsekuensi moral”.

Pesan perdamaian paus pada awal tahun 2010 ini juga sungguh menyentuh konteks lokal kita di tengah krisis lingkungan hidup. Kita dihadapkan pada masalah penggundulan hutan dan masalah tambang yang berdampak ekologis dan kultural. Banyak dari kita mungkin tidak terlalu tahu mengenai persoalan perubahan iklim (climate change) sebagaimana didiskusikan pada pertemuan Konpenhagen. Tetapi dampak perubahan iklim itu juga mempengaruhi pertanian kita dan seluruh aktivitas kita.

Ajakan untuk membangun solidaritas baru tersebut terasa relevan dalam konteks kita. Banjir akibat penggudulan hutan di hulu sungai atau tanah longsor mengakibatkan orang lain harus kehilangan nyawa dan harta benda. Sawah-sawah kita kekurangan air karena penghancuran hutan. Produktivitas pertanian kita menurun karena perubahan iklim yang tidak menentu.

Dalam masalah tambang juga sama. Kita memerlukan sebuah solidaritas baru. Pemilik lahan dan penguasa hak-hak ulayat tidak saja memikirkan kepentingan ekonomis mereka sendiri melainkan juga kepentingan yang lebih luas atau kepentingan umum masyarakat. Karena itu keterlibatan banyak orang dalam problematik tambang adalah wujud dari tanggung jawab bersama untuk menciptakan kehidupan sosial yang lebih baik.

Kebijakan pembangunan pemerintah terkait masalah lingkungan hidup juga mesti mempertimbangkan konsekuensi moral. Argumentasi pemerintah bahwa tambang bagi kesejahteraan rakyat perlu dipertanyakan karena seperti kata paus “tiap keputusan ekonomi memiliki konsekuensi moral”. Karena itu kebijakan pemerintah daerah soal tambang mesti pula dilihat dalam konteks pertimbangan etis kemanusiaan terutama hak-hak masyarakat lokal, hak-hak individu dan komunitas dan risiko yang ditimbulkan bagi kehidupan bersama.

Apa yang terjadi sebenarnya adalah kehilangan basis etis dalam kebijakan pembangunan pemerintah terutama dalam soal lingkungan hidup tersebut. Banyak pemimpin kita mengatakan program mereka berbasiskan budaya. Tetapi budaya dalam konteks ini tidak mencerminkan nilai-nilai kultur lokal yang sangat menghargai dan menghormati harmonisasi dengan alam. Kosmologi lokal yakni pemanfaatan waktu dan ruang telah dihancurkan oleh motivasi ekonomi pemerintah.

Keadilan antargenerasi juga menjadi sesuatu yang mengambang. Alasan utamanya adalah terminasasi jabatan yang hanya lima tahun dan lima tahun lagi jika kembali dipilih rakyat (dua periode). Oportunisme muncul dari sini. Tetapi pemimpin yang punya karakter tidak hanya berpikir tentang lamanya waktu kekuasaan melainkan kontribusi yang “mengesankan” bagi kesejahteraan umum. Karena oportunisme kekuasaan menghancurkan keadilan antargenerasi.


Flores Pos | Asal Omong | Lingkungan
| 9 Januari 2010 |

Tidak ada komentar: