28 Desember 2009

Erosi di Kaki PNS

Oleh Frans Obon

Apakah ini sebuah kebetulan atau sebuah problem yang mesti diselesaikan? Tentang Pegawai Negeri Sipil dan masalah HIV/AIDS.

Awal Desember lalu dalam rangka peringatan Hari AIDS sedunia, sosialisasi bahaya HIV/AIDS dilakukan di kalangan pegawai negeri sipil. Sosialisasi tersebut memberikan kita dua gambaran.

Pertama, pegawai negeri sipil adalah sosok yang bisa diterima dan didengar oleh masyarakat. Birokrasi memiliki struktur organisasi yang kuat dengan tingkat loyalitas yang tinggi dan garis komando yang terkendali hingga ke kampung-kampung. Karena itu diasumsikan jika mereka memiliki pengetahuan tentang HIV/AIDS maka mereka bisa memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai bahaya HIV/AIDS. Mereka menjadi garda terdepan untuk memerangi masalah dan bahaya HIV/AIDS yang sudah mulai – paling kurang dalam satu dua kasus – menyerang desa-desa di Flores.
Tindakan ini dianggap penting karena satu dua kasus di pedesaan memberikan kita gambaran bahwa bahaya sudah begitu parah. Hal ini mengandaikan bahwa desa dengan tingkat loyalitas yang tinggi pada tradisi telah mulai goyah. Perubahan yang begitu cepat dalam bidang transportasi yang berdampak pada mobilisasi penduduk makin mudah telah menggoyahkan nilai-nilai tradisional yang selama ini dipegang teguh.
Sosialisasi ini mendorong para pegawai negeri untuk ikut ambil bagian di dalam kampanye melawan HIV/AIDS.

Kedua, hampir setiap kabupaten di Flores dan Lembata sudah ada fenomena di mana ada pegawai negeri sipil sendiri terkena HIV/AIDS. Apakah dengan fenomena ini kemudian kita bisa mengatakan, pegawai negeri juga masuk dalam kelompok berisiko sehingga mereka perlu mendapatkan sosialisasi?

Dari sudut pandang logika, kita tidak bisa menarik kesimpulan bahwa dengan satu dua kasus terjadi di kalangan pegawai negeri, kita dapat membuat generalisasi bahwa kelompok pegawai juga termasuk kelompok berisiko. Terlalu berbahaya jika kita membuat generalisasi. Meski demikian satu dua kasus terjadi di kalangan pegawai negeri sipil membuat kita perlu waspada. Asumsi itu menjadi benar bila benar bahwa HIV/AIDS adalah fenomena gunung es.

Tiap orang bisa kena HIV/AIDS dengan berbagai cara. Karenanya saya tidak mau menjustifikasi satu dua kasus untuk membuat satu generalisasi. Sama sekali tidak. Tetapi yang ingin saya tegaskan adalah satu dua kasus tersebut menggambarkan adanya pelunturan secara kultural di kalangan masyarakat kita.
Saya ingin menjelaskan hal ini dari sudut sejarah. Bagi masyarakat Flores dan Lembata, guru dan pegawai negeri adalah dua posisi strategis. Bahkan sering dijadikan panutan bagi perilaku di dalam masyarakat kita. Kalau kita belajar dari sejarah perubahan sosial di Nusa Tenggara, sekolah-sekolah yang didirikan di Nusa Tenggara akibat politik etis Belanda telah memproduksi elite modern di wilayah ini.

Usaha memproduksi elite modern ini makin terbuka luas ketika Gereja Katolik (terutama di Flores) dan Protestan terutama dari Gereja Masehi Injili di Timor (Timor dan Sumba) mendirikan sekolah-sekolah. Sekolah-sekolah ini terutama memproduksi para guru yang kemudian mampu memberikan pendidikan yang baik kepada penduduk-penduduk setempat. Karena itu pada awalnya guru adalah tokoh-tokoh panutan dan pembaru serta penggerak pembangunan di Flores, Lembata, Timor dan Sumba.
Elite-elite politik terkenal di Flores dan Timor umumnya pernah sekolah guru. Di desa-desa guru-guru adalah tokoh panutan dan penggerak utama perubahan.

Perkembangan lanjutannya adalah sekolah-sekolah tersebut tidak saja memproduksi guru tetapi juga elite modern lainnya. Hingga Indonesia merdeka, sekolah-sekolah di Nusa Tenggara mampu memproduksi guru dan elite birokrasi modern. Artinya ketika Indonesia merdeka, pemerintahan baru tersebut membutuhkan birokrat-birokrat andal. Nusa Tenggara telah menyiapkannya dengan sekolah-sekolah yang dibuka Gereja. Dengan demikian dalam Indonesia modern pasca kemerdekaan, lahirlah birokrat-birokrat unggul yang tidak saja tamat dari sekolah-sekolah (menengah) tetapi terutama dari lembaga pendidikan tinggi di Jawa. Kultur birokrasi pasca kemerdekaan ini akhirnya menggeser peran para guru. Hingga sekarang birokrasi yang kita sebut pegawai negeri sipil itu tetap memegang peranan penting sebagai penggerak dan pembaru dalam memobilisasi pembangunan di pedesaan – meski dalam konteks Nusa Tenggara semua lembaga agama terutama Gereja Katolik dan GMIT masih memegang peranan penting atau setidaknya tidak bisa dianggap sepele.

Guru-guru yang pada awal perkembangan Flores modern menjadi panutan perlahan-lahan meredup. Hal ini dalam beberapa hal sebagai dampak dari kebijakan pemerintah yang tidak mempedulikan nasib guru. Pahlawan tanpa tanda jasa tersebut kurang diperhatikan kesejahteraannya. Karena itu kalau pada satu masa kita mengirim tenaga guru yang andal ke Malaysia dan sumbangan ini dianggap penting bagi fondasi kemajuan Malaysia saat ini, maka kemunduran yang terjadi adalah sumbangan dari kebijakan pemerintah yang mengabaikan pengembangan lembaga pendidikan sebagai kawah candradimuka bagi pengembangan sumber daya manusia.

Kasus-kasus amoral yang menimpa atau setidaknya dilakukan oleh oknum guru belakangan ini terhadap anak didik mereka sendiri menunjukkan kepada kita bahwa lembaga pendidikan kita tidak lagi menjadi landasan kokoh bagi pembentukan nilai-nilai luhur. Terjadi erosi di lembaga pendidikan kita. Lembaga pendidikan kita terhanyut oleh derasnya arus globalisasi tanpa saringan yang memadai.


Jika tiang yang kita sebut guru itu goyah dalam perubahan zaman, maka birokrasi sebagai panutan di dalam masyarakat agraris seperti kita masih diandalkan. Siapa bilang pada masa modern ini panutan tidak diperlukan lagi.


Jika tiang yang kita sebut guru itu goyah dalam perubahan zaman, maka birokrasi sebagai panutan di dalam masyarakat agraris seperti kita masih diandalkan. Siapa bilang pada masa modern ini panutan tidak diperlukan lagi. Jangan keliru. Banyak anak-anak kita menjadikan artis, model iklan, bintang sinetron dan bintang film, bintang sepakbola, bintang basket dan lain sebagainya menjadi tokoh panutan. Kita masih memerlukan tokoh panutan sepanjang sejarah.

Dalam soal birokrasi, pengaruhnya masih dominan sampai sekarang. Birokrasi masih menjadi magnet dalam banyak hal. Lihatlah ribuan pencari kerja masih menyerbu loket pendaftaran calon pegawai negeri sipil daerah. Lihatlah pegawai negeri memobilisasi masyarakat untuk politik. Lihatlah anggota DPRD kita, banyak juga mantan birokrasi. Itu artinya mereka jadi panutan.

Dalam soal pilkada, misalnya, birokrasi masih dipercaya bisa memimpin. Jenjang kepangkatan dan kepegawaian serta pendidikan dan latihan yang diikuti pegawai negeri telah menjadi pengembangan diri yang luar biasa dalam kepemimpinan mereka. Karena itu banyak orang masih percaya bahwa birokrasi masih menjadi magnet dalam politik. Persepsi masyarakat kita demikian, meski kita saksikan tidak semua birokrasi cakap dalam memimpin terutama saat memangku jabatan politik.

Karena itu kemudian ketika kita jumpai satu dua kasus HIV/AIDS di kalangan pegawai negeri sipil, kita mencatatnya ini sebagai sebuah pelunturan. Saya tidak ingin memandang masalah ini dari sudut moralitas tetapi dari sudut pandang perubahan sosial. Sebagai jurnalis, saya sekadar mencatat perubahan-perubahan seperti ini. Jika benar ini fenomena gunung es, bagi saya ada erosi di atas tanah tempat pegawai negeri berdiri.

Flores Pos | Asal Omong | Kesehatan
|12 Desember 2009 | Page 9

Tidak ada komentar: