11 September 2009

Lokal

Oleh Frans Obon

DALAM rentang sejarah 10 tahun Flores Pos, ada satu masa di mana motonya diubah. Dari “Nusa Bunga untuk Nusantara” diubah menjadi “Membangun Manusia Pembangun”. Moto “Membangun Manusia Pembangunan” adalah moto Surat Kabar Mingguan Dian, yang untuk sementara telah dibekukan oleh pemiliknya. Entah apa yang melatari perubahan itu tidak terlalu jelas bagi kita. Episode tersebut barangkali sesuatu yang sepele, tetapi dalam beberapa hal dia berbicara banyak mengenai dinamika internal pers. Ini barangkali sebuah Wars Within meminjam judul buku Janet E Steele yang menulis mengenai konflik internal Majalah Tempo. Buku ini ditulis dengan cara yang memikat menggunakan narrative reporting atau yang oleh beberapa kalangan disebut jurnalisme sastrawi.


Moto ini dalam satu hal menjelaskan mengenai yang lokal itu. Bahwa yang lokal dapat menyumbangkan sesuatu bagi yang global. Dalam teori globalisasi, ketegangan terjadi antara negara bangsa (nation-state) dengan situasi global, tetapi sesungguhnya ketegangan juga terjadi di dalam negara-bangsa itu sendiri. Seperti halnya juga di dalam Gereja Katolik terdapat ketegangan antara universalisme gereja dan partikularisme. Hubungan dialektis antara yang universal dan yang partikularis itu di satu sisi menimbulkan ketegangan hubungan tetapi di sisi lain memperkaya kehidupan gereja. Dalam konteks yang sama, yang lokal di dalam negara bangsa dapat memberikan kontribusi bagi kekayaan kehidupan bersama. Tetapi bagaimana yang lokal memberikan kekayaan kepada yang umum atau yang universal jika yang lokal tidak diperkaya, tidak ditapis dengan jernih untuk menemukan yang bernas dan berisi, sehingga pada gilirannya dijadikan sebuah kontribusi yang bermakna.

Dengan keyakinan inilah, Harian Umum Flores Pos ingin memberikan makna pada yang lokal itu. Dalam usia 5 tahun, Harian Umum Flores Pos menggelar seminar dengan tema ”Membangun Ekonomi Flores: Masalah dan Solusinya”. Inti dari seminar itu adalah bagaimana membangun ekonomi lokal di Flores dan Lembata, sehingga terjadi penguatan basis ekonomi di kawasan ini. Pembicaraan di ruang seminar ini tentu dimaksudkan untuk sumbang gagas bagaimana intelektual-intelektual Flores berbicara dan mendiskusikan kehidupan mereka dan menemukan jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi. Saat itu Yoseph Tote (sekarang Bupati Manggarai Timur) bicara soal pengembangan sumber daya manusia, Manajer Cabang PT PLN Flores Bagian Barat Albert Prajartoro bicara soal bagaimana sumber daya listrik mampu mendorong percepatan pembangunan di Flores, Cyrillus Kerong (Redaktur senior Bisnis Indonesia) bicara kehadiran investor dalam membangun ekonomi Flores, Kepala Bappeda Ende Anton Se (mewakili Bupati Ende Paulinus Domi), dan Pastor Paul Budi Kleden SVD yang berbicara mengenai ekonomi kerakyatan. Pater Budi bicara soal politik ekonomi yang memihak rakyat.

Pada usianya ke-10 Harian Umum Flores Pos kembali membahas ekonomi. Kali ini media milik Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini) ini bicara soal pangan lokal. Bupati Ende Don Bosco M Wangge, Dokter Johanes Don Bosco Do, Pemimpin Redaksi Flores Pos Frans Anggal dan Rony So dari FIRD. Formatnya tidak dalam bentuk seminar atau diskusi, melainkan talk show. Suasananya lebih cair dan santai. Santai dalam cara tapi serius dalam isi. Titik penting di sini adalah bagaimana rakyat Flores dan Lembata tidak jatuh dalam kemiskinan, tidak jatuh dalam kelaparan, tidak jatuh dalam situasi busung lapar, melalui cara memaksimalkan potensi lokal, menggunakan apa yang mereka miliki, dan yang penting adalah makan dari apa yang dihasilkan dari tanah mereka sendiri.

Jika demikian penting isu pangan lokal ini, maka ada tiga unsur penting di dalamnya yang harus dipertahankan yakni tanah, air dan hutan. Penting sekali agar para petani kita memiliki lahan tempat mereka mencangkul, menanam, dan memanen. Para petani mesti memiliki akses pada ketersediaan air yang mengalir dari hutan-hutan kita. Konsekuensinya adalah kebijakan pemerintah yang lebih tegas untuk mempertahankan hutan dan ketersediaan air dan mendorong partisipasi masyarakat untuk bersama-sama menjaga kelestarian hutan. Adalah sesuatu yang ironis jika di satu sisi kita bicara pentingnya pangan lokal tetapi di sisi lain kita tidak memberi perhatian pada masalah tanah, air dan hutan.

Karena itu setiap usaha yang mau menghilangkan atau mencabut petani dari lahan pertanian mereka, sudah seharusnya dicegah. Jika kita melihat komposisi penduduk kita dan kontribusi pada pendapatan domestik regional bruto (PDRB) sektor pertanian masih mendominasi. Itu saja sudah menggambarkan bahwa sebagian besar penduduk kita bergerak di sektor pertanian. Karenanya kehilangan lahan pertanian sama dengan menciptakan kemiskinan dan mencabut mereka dari tanah kelahirannya.

Pangan lokal tentu saja bukan semata-mata menghidupkan lagi nostalgia masa lalu akan kekayaan dan keberagaman makanan kita, atau bukan soal ketersediaan pangan yang cukup tetapi terutama bagaimana para petani ikut menentukan apa yang mesti ditanam, yang mesti mereka petik dari kebun-kebun mereka, dan mereka mendapatkan keadilan dari perdagangan komoditas pertanian. Kedaulatan pangan mungkin kata yang tepat di sini. Pangan lokal harus sejalan dengan konsep kedaulatan pangan. Di sini tentu saja tidak hanya soal produksi, tetapi para petani memiliki akses yang luas pada pangan. Akses pangan terjadi dalam kondisi pasar yang adil dan seimbang.

Pangan lokal dan kedaulatan pangan pada gilirannya akan membantu menyelesaikan ketegangan antara apa yang global dan apa yang lokal. Di sini yang lokal akan menjadi yang global. Siapa bisa menyangka bahwa jambu mete Flores, yang bebas dari pemakaian pupuk, bisa dihidangkan di restoran di Paris, di London dan di Amerika. Jambut mete dari Aimere (Ngada) dan dari Tanjung Bunga (Flores Timur) dieskpor ke Eropa dan Amerika. Jambu mete Flores ini tembus pasar Eropa dan Amerika karena bebas dari pemakaian pupuk kimia. Mungkin kita bisa bermimpi bahwa suatu saat ubi nua bosi bisa diekspor asalkan disentuh dengan teknologi yang diterima pasar.

Penghargaan kita pada pangan lokal tentu saja pada satu sisi akan melahirkan dan memunculkan cita rasa kuliner yang khas dari Flores dan Lembata. Dengan ini akan lahir pula kecerdasan kuliner Flores dan Lembata. Konsep pangan lokal dengan sentuhan kecerdasan kuliner Flores dan Lembata ini akan sejalan dengan keinginan pemerintah dan orang-orang Flores untuk mengembangkan potensi pariwisatanya. Dengan demikian kita tidak saja berpikir tentang ekspor ke mancanegara, melainkan orang datang untuk menikmati cita rasa kuliner Flores dan Lembata.

Perubahan cara pandang terjadi hanya dimungkinkan oleh perubahan mindset kita dalam memandang yang lokal. Lokal dalam banyak kesempatan sering dianggap kekalahan. Pangan lokal juga demikian. Makanan-makanan lokal seringkali bertekuk lutut di hadapan kampanye kehidupan global yang diuar-uarkan oleh iklan-iklan.

Harian Flores Pos oleh motonya dari “Nusa Bunga untuk Nusantara” dituntut untuk menghargai yang lokal dan mendorong ekonomi lokal ke arah kemandirian dan kedaulatan. Oleh tuntutan ini pula, media di Flores dan Lembata mesti memainkan peran untuk berada di sisi para petani yang menjadi mayoritas dari penduduknya. Media banyak kali dikritik karena tidak cukup menyediakan tempat bagi isu-isu kemiskinan dan ekonomi lokal. Jarang sekali suara-suara orang miskin muncul di media.

Yang mesti dilakukan media adalah memberi tempat bagi orang-orang miskin di dalamnya, memberi tempat bagi para petani-petani miskin di pedesaan sehingga media memainkan peran mediasi dan menjadi penyambung suara orang-orang miskin (the voice of the poorest atau the voice of the voiceless). Pada gilirannya media membantu publik memberikan sokongan bagi pengentasan kemiskinan dan mendorong kemandirian ekonomi lokal dan membantu para pengambil kebijakan untuk memberikan solusi.

Memperkuat lokal berarti memperkuat masyarakat akar rumput. Pers oleh tugas dan tanggung jawabnya mesti memperkuat masyarakat akar rumput, mendorong kemandirian mereka, dan membangkitkan rasa harga diri.

Edisi, 12 September 2009

Tidak ada komentar: