10 Januari 2008

Dimensi Etis APBD

Oleh FRANS OBON

Sejalan dengan pemberlakuan otonomi daerah, berkembang pula wacana pentingnya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang memihak kepentingan rakyat. Wacana ini menjadi penting karena orientasi pembangunan adalah rakyat.

Tema ini dibedah dalam diskusi yang digelar Fakultas Ekonomi Universitas Flores, Kamis (22/2). Dari paparan yang ada, dapatlah disimpulkan bahwa APBD kita di berbagai daerah sebagian besar tidak memihak kepentingan rakyat. Ukurannya adalah struktur APBD dan skala-skala prioritasnya lebih banyak digunakan untuk membiayai aparatur pemerintah. Ini berarti pula birokrasi kita memang gemuk, sehingga kita pun dapat mengerti kalau birokrasi kita terkenal korup dan bergerak lamban.
Terlepas dari itu, diskusi ini membangkitkan semangat kita untuk memikir ulang beberapa hal ini.
Pertama, ukuran untuk seorang pemimpin. Pembahasan APBD menjadi penting karena ia bisa menjadi ukuran untuk kinerja pemerintahan. Karena dari APBD, kita bisa memperoleh gambaran mengenai visi, strategi, program, dan kebijakan pemimpin-pemimpin lokal kita terutama bupati dan wakil bupati. Di situ kita bisa melihat apakah kampanye-kampanye atau janji-janji politik mereka terpenuhi atau tidak.
Kedua, partisipasi masyarakat. Pemerintah berargumentasi bahwa telah banyak wadah partisipasi yang disediakan pemerintah bagi masyarakat mulai dari tingkat desa hingga kabupaten. Partisipasi terbatas ini dianggap pemerintah telah memadai. Tetapi kualitas partisipasi masih dapat diperdebatkan. Semua elemen terwakili, tetapi seberapa cerdas orang-orang ini yang mempengaruhi kualitas partitisipasi politik masih sulit dijangkau. Memang pada akhirnya kualitas partisipasi tersangkut paut pula dengan tingkat kecerdasan masyarakat.
Ketiga, dimensi etis. Tampaknya dimensi etis dalam wacana APBD yang memihak rakyat seringkali tidak diperbincangkan dengan serius. Politik anggaran sebagaimana termuat dalam APBD seringkali tidak memperhatikan dimensi etis. Etika politik anggaran harus dibicarakan dalam rangka pemenuhan hak-hak dasar manusia sebagai pribadi. Pembangunan apapun bentuknya tidak boleh melukai martabat pribadi manusia. Karena pembangunan adalah proses humanisasi. Bila pembangunan mengarah pada proses dehumanisasi, maka pembangunan sudah bertentangan dengan harkat dan martabat manusia.
APBD kita harus menjadikan harkat dan martabat manusia sebagai tujuan ultimum pembangunan. Sehingga APBD juga perlu mendorong manusia menjadi otonom.

Flores Pos | Bentara | APBD | 28 Februari 2007 |

Tidak ada komentar: